Prangko Seri Cerita Rakyat 2003

Prangko Seri Cerita Rakyat 2003Prangko seri “Cerita Rakyat” kembali diterbitkan pada tahun 2003. Pada seri yang keenam ini kisah yang diangkat adalah legenda Danau Ranau dari Lampung, asal usul terbentuknya Kongga Owose dari Sulawesi Tenggara, kisah kepatuhan kepada orang tua melalui cerita Putri Gading Cempaka dari Bengkulu dan kisah pengorbanan Putri Mandalika Nyale dari Nusa Tenggara Barat.

SHP Cerita Rakyat tahun 2003 - Danau RanauDanau Ranau, Lampung

Nama Ranau diambil dari legenda pepohonan bernama ‘Hara’ dan ‘Reranau’. Suatu hari, seorang pemuka masyarakat meminta rakyatnya untuk menebang kedua pohon ini untuk keperluan bercocok tanam. Ajaibnya, tak seorang pun berhasil melakukannya. Sampai sang pemuka masyarakat itu sendiri yang turun tangan dan sukses menebang kedua pohon tersebut. Namun, dari bekas tebangan itu timbul mata air yang mengalir tanpa henti hingga terbentuk Danau Ranau seperti sekarang ini. Legenda lain mengisahkan tentang naga danau yang menjaga masyarakat sekitar. Alkisah terdapat sebuah Gelangsa (Kentongan) yang bewarna keemasan yang oleh masyarakat sekitar di sebut “Kelengkup Gangsa”. Kentongan ini memiliki kesaktian, yaitu suaranya terdengar hingga penjuru negeri, selain itu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dari kesaktian “Kelengkup Gansa” tersebut, banyak orang yang penasaran ingin melihat benda itu. Setelah melihat, mereka pun berkeinginan memilikinya, dan mulailah beberapa orang tersebut, merencanakan untuk mencuri “Kelengkup Gangsa”. Singkat cerita, “Kelengkup Gangsa” berhasil dicuri, namun sesampainya di tepi Danau Ranau, “Kelengkup Gangsa” tersebut, semakin berat karena kekuatan lain menariknya. Akhirnya “Kelengkup Gansa” terlempar ke dalam danau dan berubah menjadi seekor naga keemasan dan membunuh pencuri tersebut.

SHP Cerita Rakyat tahun 2003 Kongga OwoseKongga Owose, Sulawesi Tenggara

Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume dilanda sebuah malapetaka. Seekor burung garuda raksasa mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk. Penduduk negeri itu pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Keadaan ini membuat penduduk takut pergi ke luar rumah untuk mencari nafkah. Sementara itu, di negeri Solumba, tak jauh dari negeri Sorume, hiduplah seorang cerdik pandai dan sakti bernama Larumbalangi. Konon kabarnya orang pandai tersebut dapat membantu siapa pun orang yang sedang dilanda musibah. Mendengar kabar tersebut, maka diutuslah beberapa orang dari negeri Sorume untuk menemui Larumbalangi. Sesampainya di negeri Solumba, para utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi. Setelah mendengar cerita dari utusan negeri Sorume, Larumbalangi memberi tahu bagaimana caranya membunuh burung garuda raksasa tersebut. Penduduk negeri Sorume diminta untuk mengumpulkan bambu yang sudah tua dan dibuat menjadi bambu runcing. Bambu-bambu runcing itu agar dijadikan sebagai pagar sekaligus ranjau di tengah padang tempat dimana burung garuda raksasa tersebut mencari mangsa. Sebagai umpan dan petarung untuk melawang burung garuda tersebut, rakyat negeri Sorume juga diperintahkan untuk mencari seorang laki-laki pemberani dan perkasa. Singkat cerita, terpilihlah seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke tengah padang untuk dijadikan umpan, sementara penduduk yang lain bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Menjelang tengah hari, akhirnya muncullah burung garuda tersebut. Karena kelaparan, burung itu terbang merendah untuk menyambar Tasahea. Malang nasib burung garuda itu, belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing. Dengan cekatan, Tasahea melemparkan bambu runcing beracunnya ke arah dada burung garuda tersebut. Dengan terluka parah, burung itu terbang tinggi meninggalkan Tasahea, dan akhirnya jatuh di puncak gunung yang tinggi dan mati di tempat itu. Penduduk negeri Sorume bergembira atas keberhasilan Tasahea, dan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam. Dihari ke tujuh, terjadi bencana lain. Dari arah gunung tempat burung garuda raksasa mati, tercium bau bangkai. Sejak saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Tidak hanya itu, sungai, pepohonan dan tanaman penduduk dipenuhi ulat sehingga tidak ada hasil tanaman yang dapat dipanen. Penduduk Sorume pun menemui kembali Larumbalangi. Dengan doa yang diucapkan Larumbalangi, maka turunlah hujan deras yang menyebabkan banjir dan membawa hanyut bangkai, tulang belulang serta ulat yang berasal dari bangaki burung garuda itu, dan berakhirlah musibah yang menimpa negeri Sorume. Sebagai imbalan, Tasahea diangkat sebagai bangsawan dan Larumbalangi diangkat menjadi pemimpin negeri Sorume. Gunung tempat jatuhnya burung garuda raksasa kini dinamakan Gunung Mekongga, sementara sungai tempat hanyutnya bangkai burung itu dinamakan Sungai Lamekongga.

SHP Cerita Rakyat tahun 2003 - Putri Gading CempakaPutri Gading Cempaka, Bengkulu

Dahulu kala, di daerah Bengkulu Tinggi berdirilah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Serut. Pendiri sekaligus raja pertama kerajaan ini bernama Raja Ratu Agung, seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Raja Ratu Agung mempunyai 6 orang putra dan seorang putri. Keenam putra tersebut adalah Kelamba Api, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan dan Anak Dalam, sedangkan putrinya yang merupakan anak bungsu bernama Putri Gading Cempaka. Kerajaan Sungai Serut terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Raja Ratu Agung, tapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Sudah banyak pangeran yang meminang sang putri, namun belum ada satupun yang diterimanya. Suatu hari, sang raja jatuh sakit dan mendapat firasat bahwa ajalnya sudah dekat. Maka sang raja pun mengumpulkan seluruh anaknya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka. Di dalam wasiatnya, sang raja berkata bahwa demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman Kerajaan Sungai Serut, maka tahta kerajaan akan diberikan kepada Anak Dalam. Sang raja berpesan agar anak-anaknya tetap bersatu dalam suka maupun duka. Jika suatu saat nanti kerajaan ditimpa musibah besar, anak-anaknya diperintahkan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk, karena kelak di sana akan datang seorang raja yang berjodoh dengan Putri Gading Cempaka. Selang beberapa hari, Raja Ratu Agung pun akhirnya meninggal. Sesuai wasiat sang raja, maka Pangeran Anak Dalam dinobatkan sebagai raja dan nama kerajaan berganti menjadi Kerajaan Bangkahulu. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam memimpin dengan arif dan bijaksana membuat nama kerajaan tersohor ke berbagai negeri. Kecantikan Putri Gading Cempaka yang sudah terkenal semakin membuat Kerajaan Bangkahulu kian terkenal. Hingga suatu hari datanglah Putra Mahkota Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh hendak meminang sang putri. Namun, sesuai wasiat ayahnya sang putri menolak pinangan tersebut. Mengetahui lamarannya ditolak, sang pangeran murka dan menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar pun terjadi, namun Raja Anak Dalam kian terdesak. Saat itulah sang raja teringat wasiat ayahnya dan akhirnya sang raja serta keenam saudaranya mengungsi ke Gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh kembali ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil. Sepeninggal para pemimpinnya, Kerajaan Bangkahulu menjadai kacau, sampai datanglah empat pasirah (bangsawan) Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Namun, setelah berhasil menguasai negeri tersebut, mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan. Singkat cerita, pertikaian keempat bangsawan tersebut didamaikan oleh Maharaja Sakti, utusan Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau. Akhirnya, keempat bangsawan tersebut sepakat untuk mengangkat Maharaja Sakti sebagai raja di Bangkahulu. Pada saat mendekati penobatan, Baginda Maharaja Sakti bermimpi bertemu dengan bidadari cantik menari di tengah hujan badai menuju Gunung Bungkuk. Setelah menceritakan mimpi tersebut kepada seorang peramal, diketahuilah bahwa bidadari tersebut adalah Putri Gading Cempaka. Peramal tersebut menganjurkan kepada Baginda Maharaja Sakti untuk menjemput sang putri dan memperistrinya, karena dengan begitu kerajaan yang akan dipimpinnya akan berdiri dengan tegak kembali. Baginda Maharaja Sakti pun melaksanakan anjuran sang peramal dan menikah dengan Putri Gading Cempaka serta mendirikan istana baru di Kuala Sungai Lemau, sehingga nama kerajaan pun berubah menjadi Kerajaan Sungai Lemau.

Putri Mandalika Nyale, Nusa Tenggara Barat

Cerita rakyat Putri Mandalika Nyale mengisahkan tentang asal usul munculnya upacara adat Bau Nyale. Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Pantai Selatan Pulau Lombok, berdiri sebuah kerajaan bernama Tunjung Bitu. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Raja Tonjang Beru dan permaisuri Dewi Seranting. Raja Tonjang Beru memiliki seorang putri yang cantik jelita, cerdas dan terkenal ramah bernama Putri Mandalika. Kecantikan dan keelokan perangai Putri Mandalika sudah tersohor sampai ke berbagai negeri, sehingga banyak pangeran dari berbagai kerajaan datang silih berganti untuk melamar sang putri. Namun anehnya, setiap pangeran yang datang melamar, tak satu pun yang di tolak oleh Putri Mandalika. Para pangeran tersebut tidak menerima jika sang putri diperistri oleh banyak pangeran. Maka mereka pun bersepakat untuk mengadu keberuntungan melalui peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan itu, dialah yang berhak memperistri sang putri. Raja Tonjang Beru yang mengetahui akan adanya rencana peperangan itu menjadi gelisah dan memanggil Putri Mandalika untuk segera memutuskan siapa pangeran yang akan dipilih untuk mencegah terjadinya peperangan. Setelah berpikir dan melakukan semedi, sang putri pun menemukan jalan keluar agar tidak terjadi peperangan. Pada tanggal 20 bulan 10 penanggalan suku Sasak, semua pangeran berserta rakyatnya diminta berkumpul di Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah. Setelah semuanya berkumpul, Putri Mandalika pun berbicara untuk mengumumkan keputusannya. Sang putri tidak dapat memilih salah satu pangeran dari sekian banyak pangeran, tetapi seluruh pangeran beserta rakyatnya dapat memiliki sang putri secara bersamaan. Putri Mandalika berkata bahwa dia telah ditakdirkan untuk menjadi Nyale yang dapat dinikmati oleh seluruh orang. Setelah berbicara dan mengumumkan keputusannya, sang putri pun langsung menceburkan dirinya ke dalam laut. Seluruh orang yang hadir, tidak terkecuali Raja Tonjang Beru dan permaisuri Dewi Seranting kaget dengan keputusan dan tindakan sang putri. Namun semua itu telah terlambat, karena sang putri telah hilang ditelan gelombang. Ia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tak lama kemudian bermunculan binatang kecil menyerupai cacing yang jumlahnya sangat banyak. Binatang itulah yang disebut Nyale. Seluruh rakyat yang menyaksikan peristiwa itu meyakini bahwa Nyale adalah jelmaan Putri Mandalika. Sesuai pesan sang putri, mereka pun beramai-ramai dan berlomba-lomba mengambil bintang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai tanda cinta kasih kepada sang putri. Hingga kini, kegiatan tersebut masih sering dilakukan dan dikenal dengan upacara adat Bau Nyale.

Referensi :

http://www.ceritarakyatnusantara.com

Pos ini dipublikasikan di Cerita Rakyat dan tag , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar